Ukhuwah itu...sangat transaksional

Ukhuwah itu terasa begitu transaksional. Betapa di medan yang seperjuangan ini ukhuwah terasa begitu transaksional. Bisa jadi kalau lah bukan karena amanah-amanah yang sama, belum tentu jua kita akan saling peduli. Bahkan sekadar menanya kabar pun terasa simbolik. Apa kabar? Alhamdulillah, baik. Lalu cukup sampai situ.
Rasanya geli dan saya sepakat betapa menyebalkannya ukhuwah yang demikian. Yang saling menyapa hanya karena satu amanah, ada kepentingan. Yang saling menjaga karena memang ada beban yang harus dikerjakan bersama. Lalu muncul sebuah Tanya, bagaimana jika tak ada alasan-alasan yang membuat kita saling perduli, bagaimana jika tak ada sebab yang membuat kita saling menyapa? Ah ya, segalanya terlihat begitu transaksional. Dan ketika bersinggungan dengan yang tak memiliki kesamaan visi dan beban, terasa hambar, terasa ya sudahlah, sudah seperti itu jalannya.
matahari cinta
Saya terjebak dalam kesebalan-kesebalan yang tidak jelas itu. Sama, sama merasa betapa ukhuwah itu mongering. Selesai amanah selesai juga kepedulian dan rasa sepenanggungan. Sebegitu dangkalkah ukhuwah itu, kadang saya bertanya demikian, berprasangka demikian. Walau kadang saya paham, selepas amanah satu itu, tentu masih ada segunung amanah lain padanya, yang karenanya tentu tak semudah dulu lagi untuk saling peduli, saling memperhatikan, atau minimal saling mengingatkan.
Dan itulah tantangannya. Menumbuhkan ukhuwah tanpa bingkai ketransaksionalan, tanpa tendensi, tanpa sebab, tanpa kesamaan. Sulit kalau menurut saya. Logikanya, kesamaan-kesamaan itulah yang membingkai ukhuwah. Atau amanah itulah yang mengikat. Yang mempertemukan dalam gundah gulana yang sama. Ibaratnya, piring yang berdekatan akan lebih berpotensi untuk saling bergesekan dibanding piring yang berjauhan. Maka intrik dan polemic, juga tumbuhnya ukhuwah mau tidak mau memang berawal dari kesamaan langkah atau minimal interakasi yang sedikit lebih banyak dibanding yang lain.
Ah ya, ukhuwah tidak pernah sederhana memang. Ia selalu minta lebih, perhatian lebih, waktu yang lebih, kepedulian yang lebih. Tapi tampaknya saya lupa, segalanya membutuhkan sedikit pengorbanan. Jika tak ada yang mengikat, maka buatlah ikatan itu sendiri. Dan saya agaknya melupakan sedikit hal itu. Dan semakin tersadar, betapa ukhuwah itu akan transaksional dan tidak itu tergantung pada kita sendiri. Pada sikap kita, adakah kita biarkan hal itu layaknya transaksi jual beli –sudah selesai, lalu pergi, atau kita sendiri yang akan menjaganya.
Dan seperti itulah ukhuwah, saling melengkapi, seperti puzzle yang bentuk dan ukurannya tak sama, tapi saling mencipta harmoni, saling melengkapi. Dan pada akhirnya, sebenarnya kitalah yang menentukan akankah ukhuwah ini hanya semacan transaksional semata atau lebih dari itu.
Memang amanahlah yang memepertemukan kita, tapi semoga bukan karena amanah yang telah usai maka ukhuwah itu jua usai.
Dan sebegitu sederhananya saya ingin memaknai ukhuwah itu. Saling menyapa walau kadang lebih banyak saling mendiam. Ah dan yang terpenting, kita masih merasa satu ikatan, satu rasa, biar tak ada lagi segala sebab dan alasan yang membuat kita tersama.
Bisa jadi selama ini kita yang telah membiarkan ukhuwah itu berjalan rombeng, kering, dan terkesan agak transaksional. Dan jika saja kita menyadari, sesungguhnya kita memiliki peran dan potensi yang jauuuuh sangat besar untuk menumbuhkannya seperti yang kita inginkan. Ya, jika kita tak mendapat apa yang kita harap, kenapa kita tak mencoba memupuk pohon baru agar kita bisa memanen dan berbagi buah-buah ukhuwah itu?
Ukhuwah itu ibarat pohon, ia akan tumbuh subur jika kita memupuk dan menyiraminya dengan intensitas dan skala waktu yang tepat.

Dan kini, masih adakah ukhuwah itu? # Just Think  :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Perindu Syurga © 2012 | Support by KitaJual, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters